Google

Sunday, May 22, 2005

Thesis 73 - TINGGAL

TINGGAL

Thesis 73

Melihat kepada diri selalu menjadi titik perpisahan dari Allah dan memutuskan ketergantungan waktu demi waktu pada-Nya.

Apakah engkau mengingat ketika engkau pertama kali mulai belajar mengemudi sebuah mobil? Engkau melakukan banyak hal untuk tetap berada pada jalur yang benar, bukan? Engkau harus melihat pengukur kecepatan, pengukur bahan bakar dan kaca spion dan jalanan di depanmu, dan rambu-rambu di sepanjang jalan dan mobil-mobil lain yang berada di jalan raya, dan mendengar setiap instruksi yang coba diberikan guru mengemudimu kepadamu! Adalah mungkin untuk begitu memperhatikan semua hal yang berhubungan dengan mekanik dari proses mengemudi sehingga engkau melupakan peraturan yang paling penting: perhatikan kemana engkau sedang pergi! Ketika engkau tidak memperhatikan kemana engkau pergi, engkau tidak pergi ke arah yang engkau niatkan untuk pergi.

Ketika saya mencoba mengajar salah satu putri saya untuk mengemudi, kami berbelok pada sebuah tikungan, dan berakhir di sebuah lapangan rumput sebuah gereja. Tentu itu bukanlah rute yang telah saya rencanakan untuk kami jalani! Tetapi kami kembali dan mencoba lagi, dan tibalah harinya ketika dia dapat mengemudi cukup baik untuk mendapatkan surat izin mengemudinya sendiri. Tetapi satu hal yang pasti: dibutuhkan lebih dari sekedar surat izin mengemudi untuk menjami keselamatan mengemudi. Jika engkau menjadi terlalu asyik dengan pemandangan yang engkau lalui, mobil-mobil lain di jalan raya, atau berbagai hal yang ada di dashboard, tidak membutuhkan waktu lama untuk keluar dari jalan raya. Jika engkau melihat dirimu di kaca spion dan memusatkan perhatianmu di sana dari pada arah yang sedang engkau tuju, engkau akan mengalami kesulitan.

Kadang kala ketika kita menjadi orang Kristen, kita memiliki masalah yang sama seperti seorang pengemudi yang masih baru. Kita terlalu tenggelam pada hal-hal mekanis. Kita tetap melihat kepada diri kita untuk mengetahui bagaimana keadaan kita. Kita melihat kepada orang lain untuk mengetahui bagaimana keadaan mereka. Pemandangan yang kita lewati, kesenangan atau pencobaan dalam hidup di bumi ini, mengalihkan perhatian kita. Dan tidak membutuhkan waktu lama hingga kita menemukan diri kita berada di selokan, secara rohani. Hukumnya adalah kapanpun kita mengalihkan pandangan kita dari Kristus dan berpusat pada sesuatu yang lain, kita kehilangan arah kita.

Steps to Christ mengatakan kepada kita, “Ketika pikiran tinggal di dalam diri, dia berpaling dari pada Kristus, sumber kekuatan dan hidup. Karena itu adalah usaha Setan yang terus-menerus untuk tetap mengalihkan perhatian dari Juruselamat dan sekaligus mencegah persatuan dan persekutuan jiwa dengan Kristus.”—Hal. 71.

Setiap kali Setan berhasil membuat kita berpaling dari pada Kristus, tanpa bisa dielakkan kita akan jatuh dan gagal dan berdosa. Perhatian kita harus pada TUHAN, dan selama kita memandang kepada-Nya, kita aman. Tetapi ketika kita melihat kepada diri kita, kita telah menempatkan diri kita pada tempat dimana seharusnya TUHAN berada. Dan “ketika manusia menempatkan dirinya di tempat mana seharusnya TUHAN berada, dia sedang berada tempat dimana Setan inginkan dia berada.”—Ellen G. White, Review and Herald, 3 Januari 1899.

Petrus menemukan prinsip ini dalam sebuah cara yang dramatis pada suatu malam di danau. Hal itu dicatat dalam Matius 14:28-30. Yesus telah memberi makan 5.000 orang pada hari itu, dan surga kelihatannya telah turun ke bumi. Tetapi tepat ketika sepertinya kerajaan baru itu dapat didirikan di tempat itu, Yesus menyuruh murid-murid-Nya menyeberangi danau, lebih tidak menyenangkan bersama-Nya dari pada yang pernah mereka alami.

Badai datang, dan murid-murid ketakutan kehilangan hidup mereka. Tetapi Yesus mendatangi mereka, berjalan melintasi air, dan Petrus berkata, “TUHAN, apa bila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari atas perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam, lalu berteriak, “TUHAN, tolonglah aku!”

Selama dia menjaga pandangannya tetap tertuju pada Yesus, dia selamat. Tetapi ketika dia melihat kepada gelombang dan ke belakang ke perahu untuk memastikan bahwa murid-murid lain memperhatikan dia, dia tenggelam.

Dalam thesis sebelumnya saya berbicara mengenai dua jenis tinggal, hubungan hari demi hari yang tetap versus ketergantungan waktu demi waktu yang tetap. Ketika kita mengalihkan perhatian kita dari pada Yesus, ketergantungan waktu demi waktu yang tetap itu terputus—bukan hubungan setiap hari yang tetap. Ketika kita jatuh dan gagal dan berdosa, kita harus datang kepada Kristus untuk mendapatkan pertobatan dan pengampunan.

Tetapi nasib kekal kita tidak diputuskan oleh perubahan sementara. “Jika orang yang setiap hari bersekutu dengan Allah (hubungan setiap hari yang tetap) berbuat salah, jika dia beralih sejenak dari tetap memandang kepada Yesus (ketergantungan waktu demi waktu yang tetap), itu bukan karena dia berdosa karena secara disengaja; karena ketika dia menyadari kesalahannya, dia kembali lagi, dan memperteguh pandangannya kepada Yesus, dan kenyataan bahwa dia telah bersalah, tidak membuat dia kurang dikasihi di hati Allah.”—Ellen G. White, Review and Herald, 12 Mei 1896.

95 Theses on Righteousness by Faith, Morris L. Venden,
Pacific Press Publishing Associations-Boise, Idaho.
Translated by Joriko Melvin Sihombing