Google

Wednesday, June 29, 2005

Thesis 35 - PENGAMPUNAN

PENGAMPUNAN

Thesis 35

Pengampunan itu cuma-cuma, tetapi tidak murah. Pengampunan harus dibayar dengan hidup Anak Allah.

Kami sedang mendiskusikan tentang masalah nilai pada suatu hari di sebuah kelas dimana saya mengajar. Saya bertanya kepada para siswa, “Apakah kalian akan merasa lebih baik bila semua orang di kelas ini mendapat nilai “A” tidak peduli apakah dia berusaha atau tidak? Atau apakah kalian akan merasa lebih baik bila kalian mendapat nilai “A” hanya apa bila kalian telah berusaha keras untuk mendapatkannya?”

Mereka menjawab dengan alimnya, “Oh, kami lebih senang berusaha keras untuk mendapatkan nilai kami.”

Saya tidak mempercayai mereka! Saya telah mendengar sejumlah keluhan setiap kali saya mengumumkan sebuah quiz atau ujian. Saya telah menampung begitu banyak alasan karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) tepat pada waktunya. Saya telah menghadapi sejumlah siswa yang siap berdebat sepanjang hari demi mendapatkan nilai tambahan. Saya berkata, “Ayolah! Kalian hanya berusaha cari muka di depan guru! Jujur sajalah. Saya tidak akan memberikan nilai untuk jawaban kalian atas pertanyaan ini! Tidakkah kalian menginginkan nilai akhir yang tinggi? Mengapa bagi kalian itu bukan kabar baik jika setiap orang di kelas ini dijamin mendapatkan nilai tertinggi?”

Mereka menjawab, “Kami tidak akan belajar keras lagi. Kami tidak akan berusaha menghafal pelajaran lagi. Kami tidak akan menghargai sebuah nilai kecuali kami berusaha keras mendapatkannya.”

Dan saya tidak dapat berkata apa-apa lagi!

Apakah engkau setuju dengan para siswa itu? Apa yang membuat sesuatu berharga bagimu—menerima sesuatu sebagai pemberian, atau karena harus berusaha mendapatkannya?

Jika tuan tanahmu membayar rekening air, apakah itu berarti engkau memakai air lebih berhati-hati, atau lebih semberono? Apakah engkau lebih cermat memakai amplop dari persediaan di perusahaan dari pada yang engkau pakai di rumah? Jika engkau menyewa sebuah mobil tanpa batasan jarak, apakah engkau lebih sering memakai mobil itu atau lebih jarang? Ketika engkau dibiayai melakukan perjalanan, apakah engkau akan menginap di motel yang sama dengan pada saat engkau mengadakan liburan bersama keluargamu?

Jika benar bahwa manusia cenderung lebih menghargai hal-hal yang mereka dapatkan dari hasil usaha mereka, lalu mengapa TUHAN tidak menetapkan suatu sistem keselamatan oleh usaha? Bagaimana kita dapat benar-benar menghargai pengampunan atau pertobatan atau surga pada akhirnya, jika hal itu datang hanya sebagai pemberian (karunia)?

Roma 6:23 berkata, “Karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, TUHAN kita.” Kisah 5:31 berkata, “Dialah yang telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan.” Maka pengampunan dan keselamatan adalah karunia, bukan sesuatu yang kita dapatkan karena usaha atau jasa kita. Lalu bagaimana kita dapat benar-benar menghargai hal itu dengan sebagaimana mestinya?

Untuk menemukan jawaban atas dilema ini, kita perlu mengerti sifat dasar pengampunan itu. Thoughts From The Mount of Blessing, hal 114, menggambarkannya begini: “Pengampunan Allah bukanlah sekedar tindakan hukum yang mana olehnya Dia membebaskan kita dari kutukan. Hal itu bukan hanya pengampunan bagi dosa, tetapi mengangkat dari dosa. Itu adalah aliran kasih penebusan yang mengubahkan hati.”

Maka pengampunan bukan sekedar tindakan hukum. Hal itu lebih dari sekedar membersihkan catatan di buku surga. Itu lebih dari sekedar persetujuan dari surga. Hal itu memulihkan hubungan dengan seseorang. Itu adalah transaksi kasih.

Kasih membuat sebuah perbedaan, bahkan pada tingkatan manusia dalam menerima dan memberi karunia. Seorang anak dapat dilahirkan dalam bentuk yang mengerikan yang diselubungi lendir lengket dan kelihatan seperti es krim bertangkai, dan orang tuanya akan menghargainya karena kasih—dari pada menilainya dari penampilannya. Kita akan lebih menghargai sebuah pemberian jika pemberian dan sang pemberi sama pentingnya bagi kita.

Misalkan engkau dirawat di rumah sakit karena gagal ginjal, dan saudaramu datang dan menawarkan salah satu ginjalnya untuk menyelamatkan hidupmu. Apakah yang akan engkau akan berkata kepadanya, “Sekarang aku ingin agar benar-benar dapat menghargai ginjal ini, maka bagaimana kalau aku membayarmu Rp 4.000.000 untuk ginjal itu?” Dia akan merasa terhina! Kenyataan bahwa pemberian yang sangat berharga itu diberikan oleh seseorang yang sangat mengasihi kita menjadikannya tidak ternilai.

Kasih membuat perbedaan. Kebutuhan membuat perbedaan. Jika engkau tenggelam, dan seseorang melemparkan pelampung kepadamu, apakah engkau akan berkata, “Hey, tunggu dulu. Apa yang dapat kulakukan untuk membayarnya? Aku tidak dapat menghargai pelampung ini kecuali aku berusaha untuk itu?” Tidak, perasaan butuhmu akan menghalangimu berpikir demikian.

Apa yang membuat pengampunan itu bukan sesuatu yang murah, walaupun diberi secara cuma-cuma? Hal itu dikarenakan kebutuhan kita yang begitu besar terhadap pengampunan. Kita tahu berapa yang harus dibayar surga agar dapat menawarkan pemberian seperti itu kepada kita. Kita menyadari kasih yang berada dibalik pemberian itu, hati Bapa yang begitu dipenuhi kerinduan untuk berdamai dengan anak-anak-Nya. Dengan kebutuhan yang kita miliki—dan kasih yang dimiliki-Nya—hanya sebuah karunia yang dapat menjawabnya.

95 Theses on Righteousness by Faith, Morris L. Venden,
Pacific Press Publishing Associations-Boise, Idaho.
Translated by Joriko Melvin Sihombing